Sampai suatu saat aku jengkel dengan kelakuan si Atun yang berani mendengarkan radio memakai walkman dihubungkan dengan earphone yang disembunyikan di balik jilbab. Karena, aku merasa mulai sulit berkonsentrasi menangkap pelajaran (emangnya bola, ditangkap?), menyerap pelajaran ke otakku yang masih agak longgar, pasalnya si Atun memohon kepada aku untuk mengawasi gerak gerik guru ketika melakukan catwalk di antara gang-gang barisan bangku semua murid. Aku sudah sering memperingatkan untuk tidak membawa walkman itu lagi ke dalam kelas, tetapi kalau sudah kecanduan apapun tidak bisa mencegahnya.
Sampai suatu hari, pada saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, kami berdua mendapat giliran posisi bangku di barisan pojok terakhir. Karena merasa merupakan kesempatan emas, Atun mulai mendengarkan acara radio kesenangannya menggunakan earphone. Guru Bahasa Indonesia kami bukan guru yang serius, 80% jam pelajarannya dipenuhi dengan humor dan cerita-cerita bermakna, dibawakan dengan sikap tegas, lantang, sangar layaknya seorang puisiwan (orang yang suka membacakan puisi, apa ya namanya?puiser?) atau proklamator, deklamator, tau ah.
Sayangnya beliau senang sekali melakukan SiDak (inspekSi mendaDak) ke semua barisan bangku kami. Karena kebiasaan beliau yang suka menggertak secara tiba-tiba dengan penggaris ataupun barang-barang yang beliau temukan di atas meja, maka kami semua selalu menyembunyikan semua barang-barang di atas meja kami ketika pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung.
Karena beliau bagaikan jelmaan seorang WS. Rendra, sangat paham tentang puisi dan teater, beliau bisa melihat wajah-wajah muridnya yang dirasa tidak menangkap ceritanya. Tiba-tiba sang guru mengarahkan wajah sangarnya ke arah bangku kami. Saya yang dari awal sudah tidak berkonsentrasi karena takut si Atun ketauan, akhirnya memberi aba-aba pada si Atun untuk segera melepas earphone dan mematikan radionya.
Namun takdir, karena terlalu keras volume yang didengarnya, sampai-sampai Atun tidak mendengarkan aba-aba dari saya. Sang guru secara tidak diduga menghentikan langkahnya ketika tiba di barisan kami, tepat di samping Atun. Awalnya, beliau tidak mengerti tentang apa yang dilakukan si Atun. Kecurigaan beliau muncul ketika melihat si Atun menulis sesuatu, padahal tidak ada perintah untuk mencatat dan beliau sedang menceritakan pengalamannya.
Sang guru bertambah heran ketika dia melihat dari belakang Atun, bukan kertas/ buku yang dibuatnya lahan untuk menulis, melainkan selembar uang kertas Rp 1000. Rasa penasaran sang guru bertambah lagi ketika beliau melihat Atun menulis angka-angka yang sepertinya tidak asing dikenal sebagai gelombang radio, pasalnya ada embelan FM di belakang angka-angka tersebut.
Perutku mulas ketika sang guru mengambil uang tersebut dan membacakannya di hadapan teman-teman kami. Sentak si Atun segera mematikan dan melepas earphone yang dipakainya, dan menyerahkan nasibnya pada Yang di Atas. Karena Atun dan saya sudah seperti Tom & Jerry, Atun dan juga saya dijadikan bahan ajar kurikulum Bahasa Indonesia, sekaligus bahan tertawaan yang bisa mengisi hingga jam pelajaran berakhir.
Untungnya bukan pelajaran Fisika atau Matematika, bisa-bisa kami jadi bahan percobaan bahan bakar, atau bahkan sang guru terus menanyakan dari mana asal muasal angka-angka gelombang radio tersebut. Wakakakak.....( kenangan X-SUCK 2000/2001 )
No comments:
Post a Comment