Tuesday, September 9, 2008

Suatu Sudut Sekolah

Aktivitas di sekolah itu seperti biasa sekolah pada umumnya. Segalanya berorientasi kepada ilmu, pengembangan dan penerapannya oleh seluruh muridnya. Dari kejauhan sepertinya 2 buah bangunan itu tidak terlihat sebagai sekolah tapi lebih seperti sebuah pemakaman, gudang atau rumah tua yang tak berpenghuni. Namun tak satupun muridnya menunjukkan rasa malas atau bosan dengan keadaan sekolahnya. Aku jadi ingin lebih tau apa dan bagaimana sebenarnya sekolah ini ada dan tetap berjalan meski dalam keadaan seperti itu.

Aku dan beberapa temanku mencoba menjadi pengajar, namun lebih tepat disebut pengajar dadakan meski orientasi kami bukan ke pendidikan. Bisa gak bisa, akhirnya aku mencoba untuk mengajar mata pelajaran IPA dan Bahasa Inggris. Asyik, fun dan …ternyata kami terkesan sekali dengan antusias murid-muridnya yang sebenarnya seperti terlihat belum pernah mendapat pengajaran dasar seperti ini.

Keadaan ruang kelasnya ternyata tidak jauh beda dengan kondisi bangunan luarnya. Aku sempat berpikir mungkin bangunan sekolah ini sudah dibuat dari zaman Jepang. Lantai yang terbuat dari ubin dan sudah mulai retak dan pecah, sebagian ada yang ditambal dengan semen. Tak kalah parahnya, atap-atap langit sudah mulai dimakan rayap, terkelupas dan terbuka. Dindingnya sudah tidak terlihat lagi warna asli catnya, semuanya sudah nampak kusam dan terkelupas. Beruntung, kursi dan mejanya masih layak pakai, yang jelas tidak akan jatuh jika anak SD mendudukinya.

Semua murid nampak senang dan bersemangat menyambut kami si pengajar dadakan. Sang guru, yang hanya ada segelintir orang saja tak kalah senangnya menyambut maksud kehadiran kami. Sang kepala sekolah, merangkap sebagai guru matematika adalah seorang yang sangat berjasa, tanpa pamrih dia rela menghabiskan ½ harinya di sekolahan. Padahal tuntutannya sebagai buruh tani memegang lahan tomat juga harus dikerjakannya setelah sekolah selesai.

Tanpa meminta atau mengharap gaji, pak kepala sekolah tetap setia menengok dan mengawasi sekolah hingga siang hari. Subhanallah, ternyata semua murid tidak dipungut bayaran SPP, hanya saja uang pendaftaran pertama sebesar Rp.3000,- saja. Itupun juga kalau orangtua murid mau dan bersedia membayar. Meski begitu ada juga orang tua yang ingin gratis 100%, atau lebih memilih anaknya tidak sekolah. Demi memperjuangkan budaya berpendidikan hingga SMP, pak Kepala Sekolah ini rela membebaskan anak muridnya dari biaya. Dia mencari celah agar semua muridnya bisa memiliki buku pelajaran meski hanya dipinjamkan. Hebat ya?

Di kebunnya, tak kalah sulit dengan sekolah yang ia kelola, pada saat itu sebagian tanaman tomatnya diserang oleh busuk bakteri, sehingga agak sulit mencegah penyebarannya. Kami hanya bisa membagi pengetahuan dan mencoba memberi saran kepada Sang Kepala Sekolah. Saat itu (2005) dan mungkin juga hingga saat ini, aku yakin Bapak Kepala Sekolah itu masih terus mengabdi di sekolah dengan sedikit harapan ada pihak yang mau peduli setidaknya menengok keadaan pendidikan di suatu sudut Indonesia.

Menurut penuturannya, hanya satu orang yang pernah membantu kami, seorang berkebangsaan Jepang. Pada saat itu hati orang Jepang itu terenyuh melihat kami, kebetulan dia juga sering melewati jalan di depan sekolah kami. Sekedar informasi, sebenarnya jalan di depan sekolah kami sering dilewati para orang-orang berkecukupan yang bermaksud berlibur menghabiskan akhir pekannya di daerah puncak. Jalan kami dilewati banyak orang terutama jika jalan utama macet. Orang Jepang itu menyumbang pakaian-pakaian bekas untuk diobral di masyarakat, yang duitnya disumbangkan kepada sekolah tersebut hingga bisa menghasilkan bangku dan meja yang layak bagi murid-muridnya. Ternyata penduduk daerah tersebut lebih antusias menanggapi pembelian pakaian tersebut dibanding membayar sedikit untuk pendidikan anak-anaknya, sungguh ironis.

(to be continued)

writer: shoulen

No comments: